Rabu, 15 Februari 2017
Glagah Temon: Berdikari Paska Relokasi
10.21
No comments
Sayembara Desa Berkelanjutan oleh Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2014
Peserta: Ratih Purnamasari dan Affandi Sido
Pengembangan Energi Terbarukan Tenaga Angin dan Surya di Desa Ngentak Kabupaten Bantul
Community development has given so much benefit to people in rural
places. This is because people were actively involved in many development
processes, including idea brainstorming. People are no longer considered as
client, but working partner. This successful community development is also
supported with commitment to upgrade people’s life by developing some important
(yet barely unnoticed) natural resources.
Nowadays, energy crisis is happening
in almost all sides of the earth, spreading worries about decreasing supply of
energy sources, increasing tenses in political parties. This clearly force
administrations, unions of governments to take evasive action, developing more
sustain and cheap energy, keeping the lights on in villages.
Energy crisis will
also influence so many policies in a country’s economy, especially for rural
people. Impact from energy resource declining was in climbing of gas prices and
base rate for electricity. These could stop economy in villages. Taking a
further step responding to the crisis, the Ministry of Technology and Research,
and Space Administration Cooperation (LAPAN) jointly develop wind turbine generator
and solar cell blocks in Pantai Baru, Ngentak, Pandansimo, Bantul, a fishermen’s regency about 30 kilometers
southbound city of Yogyakarta. Today a group of people in this small part of
rural land of Ngentak have been taking benefit from renewable energy usage
written above.
The purposed of this research is to know the potential of renewable
energy such as wind turbine and solar cell in Ngentak. Furthermore, this report
examines the benefit from renewable energy considering its effects in people’s
economic and social life. This research is written after observation and
exploration. This method observed with an intensive interview with relevant
respondent, gathering information used later on in analysis. This result from
the research is expected to give enough descriptions about renewable energy
that has been used, and developed in a rural place. Hopefully, this research can be taken as
example to elaborate better ideas in developing more regions with same issues.
Kerja Sama Antar Wilayah Untuk Mitigasi Bencana Menuju Smart City di Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul)
Abstract
Smart city concept
may become a solution over all of city problems, such as economy, environment,
governance and transportation. Smart city concept will support space management
system that has been implemented these days. Related to disaster, a problem emerged will also
give impact to economic, environment and city’s infrastructure. Natural
disaster management is considered important as a part in smart city concept.
This research will
explain collaboration scheme in mitigating disasters in KARTAMANTUL region, as
a goal towards Smart City. The methods are qualitative and case study in
Yogyakarta, Sleman, and Bantul Region known as KARTAMANTUL. This research tries
to explore facts, including disaster management policies that are potentially
increasing quality in public service and infrastructure management towards
Smart city.
Keywords :Smart City, Yogyakarta,
disaster,mitigating, Kartamantul..
Rabu, 10 Juli 2013
Perencanaan Pembangunan Pada Otonomi Daerah
A. Sistem Perencanaan pada Era Otonomi Daerah
Sejarah perekonomian mencatat bahwa
otonomi daerah telah muncul ke permukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan
dan administrasi pembangunan sejak dekade 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap
otonomi daerah tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan
populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan
adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat
dikendalikan dan direncanakan dengan mudah dari pusat. Oleh karena itu, dengan
penuh keyakinan, para pelopor otonomi daerah mengajukan sederet panjang alasan
dan argumen tentang pentingnya otonomi daerah dalam perencanaan dan
administrasi di Negara dunia ketiga (Allen, 1990).
Perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses berkesinambungan yang
mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa
mendatang (Conyers dan Hills,1984).
Berdasarkan definisi tersebut, terdapat empat elemen dasar perencanaan yaitu:
(1) merencanakan berarti memilih, (2) perencanaan merupakan alat pengalokasian
sumber daya, (3) perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan dan (4)
perencanaan untuk masa depan (Kuncoro,
2012).
SPPN adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan
tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah. Berdasarkan UU No.25/2005
tentang SPPN, dikenal empat pendekatan dalam proses perencanaan, yaitu proses
politik, teknokratik, partisipatif, serta bottom-up
dan top-down. Empat proses
perencanaan tersebut memiliki pendekatan dan cara tersendiri.
1.
Proses Politik
Pemilihan presiden/kepala daerah
dipandang sebagai penyusunan rencana karena rakyat pemilih menentukan
pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan oleh setiap
calon presiden/kepala daerah.
2.
Proses Teknokratik
Perencanaan yang dilakukan oleh
perencana professional atau lembaga/unit organisasi yang secara fungsional
melakukan perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka
berfikir ilmiah.
3.
Proses Partisipatif
Perencanaan jyang melibatkan pihak
yang berkepentingan terhadap pembangunan (stakeholders)
yang antara lain melalui pelaksanaan Musrembang.
4.
Proses Botton-up dan Top-down
Perencanaan yang aliran prosesnya
dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan (menurut jenjang pemerintahan).
B. Masalah dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam implementasi
perencanaan daerah, ternyata banyak masalah muncul. Permasalahan lain yang
seringkali muncul di lapangan adalah sebagai berikut (Bank Dunia,
2003:47-56;Kuncoro,2004:Bab 3).
1.
Propenas (RPJMN) dan Propeda (RPJMD) bukanlah
rencana yang berkelanjutan karena hanya dipersiapkan lima tahun sekali.
Perencanaan tersebut tidak menjelaksan output dan hasil serta tidak berhubungan
dengan anggaran meskipun definisinya secara umum sebagai program pembangunan.
2.
Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan
perencanaan top-down dan botton-up terintegrasi. Begitu juga
siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi
jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan Propenas/RPJMN.
3.
Perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan
yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. Hanya perencanaan daerah
tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut.
4.
Perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri
pada anggaran dan proyek pembangunan daripada memandang anggaran secara
keseluruhan.
Hal menarik yang perlu
dicatat bahwa Bappenas (2011) telah mengidentifikasi 7 titik krisis dalam
tahapan perencanaan tahunan dan Musrembang di Indonesia :
1.
Penajaman tujuan dan sasaran yang akan dicapai.
2.
Lingkup pembahasan yang terbatas pada dana
dekonsentrasi (dekon) dan tugas pembantuan (TP) belum menyentuh dana transfer
ke daerah, rencana investasi swasta, dan penyaluran kredit perbankan.
3.
Kejelasan arahan dari pemerintah pusat
(Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementrian Keuangan,
Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian/lembaga) pada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota karena bersifat normative dan tidak pasti.
4.
Standarisasi nomenklatur program dan kegiatan
K/L dengan program dan kegiatan SKPD.
5.
Kejelasan kriteria penetapan prioritas program
dan kegiatan K/L yang akan dilaksanakan di setiap provinsi.
6.
Keterbatasan waktu pembahasan sinergi program
dan kegiatan K/L dengan program dan kegiatan SKPD sehingga tidak menghasilkan keputusan
yang bersifat final.
7.
Kepastian hasil musrembangnas sebagai dasar
penyusunan Renja K/L dan RKA K/L.
SPPN Indonesia yang meliputi pendekatan top-down dan botton-up di
atas kertas tampaknya akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas
nasional dan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun
kenytaannya, banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal telah
tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan
tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan
oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Akibatnya, proposal akhir yang
masuk ke pusat didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan
yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat. Walaupun dalam
mekanisme kordinasi formal (botton-up), perencanaan pembangunan daerah masih berada
dalam kontrol pemerintah pusat.
Permasalahan
utama perencanaan pembangunan di Indonesia terletak pada pelaksanaannya,
khususnya kelayakan rencana dan aparatur pelaksana. Sementara itu, permasalahan
kelayakan rencana terletak pada keterbatasan data statistik dan keterbatasan
pada kemampuan tenaga perencana. Permasalahan pada aparatur pelaksana terletak
pada kurangnya dukungan elite politik dan masih kentalnya budaya korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Perencanaan yang disusun harus mampu menjabarkan
visi dan misi jangka panjang secara lebih terperinci. Penjabaran ini memerlukan
pemikiran yang komprehensif dan integrasi perkembangan semua aspek terkait
dengan proses pembangunan yang dilakukan melalui pengkajian strategis masa.
Selain pemikiran yang komprehensif, diperlukan juga suatu bentuk perencanaan
yang parisipatif (Kuncoro, 2012).
A.
Kesimpulan
Kegagalan implementasi perencanaan disebabkan karena faktor politiklah
yang dianggap memiliki pengaruh yang dominan, meskipun pada awalnya variable
politik dianggap kurang penting dalam proses implementasi. Seperti pada
permasalahan aparatur pelaksana yakni terletak pada kurangnya dukungan elite
politik, mengikuti pandangan dikhotomis bahwa implementasi kebijakan sering
hanya dilihat sebagai proses manajemen: bagaimana kebijakan (seringkali
disederhanakan sebagai peretauran hukum) dikelola. Sebab dalam kenyataannya
implementasi kebijakan ternayata tidak sekedar sebagai kegiatan manajerial akan
tetapi juga merupakan kegiatan yang bersifat politis.
Tentang hal ini Linbolm
dan Woodhouse mengemukakan: “The actions of policy implementers
are considered to be political, because they have possibility of altering and
influencing political decisions the basis of their own knowledge, insights and
interests”
(Lindblom and Woodhouse 1993 dalam Torenvilled dan Thomson 2003:65 dalam
Purwanto dan Sulistyastuti 2012:79). Lebih
lanjut Torenviled dan Thomson (2003), menyebutkan adanya tawar-menawar politik
(political bargaining) dalam proses
implementasi. Political bargaining merupakan
realitas yang tidak dapat dihindarkan ketika proses implementasi terjadi di
ranah public yang mengandung kepentingan yang bersifat heterogen.
Tingginya
muatan politik dalam proses implementasi terjadi karena, implementasi
melibatkan banyak stakeholder. Kiviniemi (1986: 289) menyebutkan adanya non
governmental actors yang ikut berinteraksi dalam proses implementasi
menjadi sangat dinamis. Tentang hal ini ia mengatakan: “ It is very difficult to outline ‘normal’ or typical policy implementation
processes. The number of stages and component in a given process consequently a
dynamic situation in which there are always possibilities for many different
events and actions (Purwanto & Sulistyastuti, 2012:80)
Langganan:
Postingan (Atom)