BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Otonomi
daerah lahir pada awalnya didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan dan
kesejahteraan ekonomi tidak bisa dikelola secara sentralis mengingat minimnya
anggaran dan luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konteks
pembangunan ekonomi, sentalisasi atau desentralisasi hanyalah masalah teknis.
Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah kesejateraan masyarakat. karena itu
semua regulasi memiliki tujuan agar pembangunan ekonomi tidak menyimpang dari
semangat awal pendirian negara-bangsa.
Undang-undang
dasar Negara Republik Indonesia 1945,pasal 25A menegaskan bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan
wilayah yang batas dan haknya ditetapkan dengan undang-undang. Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dimana 63% wilayahnya terdiri
dari laut. Laut menyimpan cadangan energi di alam semesta, salah satunya energi
arus laut. Di Indonesia pemanfaatan energi arus laut menjadi pembangkit listrik
belum banyak dilakukan.
Kebutuhan
akan energi listrik nasional terus meningkat hingga sebesar 9% per tahun. Tidak
sebanding dengan ketersediaan energi fosil sebagai sumber energi primer
pembangkit tenaga listrik yang dimiliki PT.PLN (Persero) sebagai penyedia
listrik di Indonesia. Pemanfaatan energi listrik khususnya energi terbarukan
yang berasal dari laut mulai dilakukan. Hal ini diakibatkan terbatasnya ketersediaan
energi fosil di Indonesia.
Indonesia memiliki potensi arus laut yang
baik untuk pembangkit listrik. Oleh karena itu, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) melakukan penelitian potensi arus laut di
Indonesia, salah satunya Selat Flores, Nusa Tenggara Timur (Litbang ESDM). Wilayah perairan Indonesia, terutama selat-selat
yang menghadap Lautan Hindia dan Samudera Pasifik ternyata memiliki arus laut
yang kuat sehingga menyimpan potensi yang bisa dimanfaatkan secara maksimal
untuk membangkitkan energi listrik dari sumber energi yang terbarukan.
Kebutuhan energi listrik alternatif akan
terus meningkat mengingat bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia sektor ESDM
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menindaklanjuti hal tersebut, maka
pemerintah sudah seharusnya melakakukan terobosan baru melalui pengembangan
energi alternatif karena cadangan energi fosil juga semakin berkurang. Dalam
mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka
peran otonomi daerah diperlukan untuk menginisiasi kebijakan pengelolaan energi
alternatif.
Kebijakan pengembangan energi alternatif
melalui potensi perairan Indonesia juga diharapkan dapat meningkatkan kerjasama
antar wilayah dalam pengelolaan potensi laut. Disamping itu kebijakan ini
diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah dalam penguatan NKRI melalui
eksplorasi sumberdaya kelautan.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana peran pemerintah dalam penguatan
NKRI melalui otonomi daerah terhadap pengelolaan wilayah perairan kelautan dalam
pengembangan potensi arus laut untuk menghasilkan energi listrik alternatif.
C. Tujuan
Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan potensi sumberdaya perairan laut
Indonesia untuk menghasilkan energi terbarukan sebagai perwujudan penyediaan ketahanan
energi nasional dan penguatan wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia).
BAB
II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Sistem Perencanaan Pada Era Otonomi Daerah
Sejarah perekonomian mencatat bahwa
otonomi daerah telah muncul ke permukaan sebagai paradigm baru dalam kebijakan
dan administrasi pembangunan sejak dekade 1970-an (Kuncoro,2012:49). Perencanaan
merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen yang penting dan saling
terkait. Empat fungsi manajemen tersebut adalah merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan. Merencanakan (to plan) membutuhkan pemahaman di mana
posisi daerah dan ke mana mau melangkah kedepan, bagaimana formulasi visi dan
misi, serta strategi apa yang dipilih unutk mencapai target.
Mengorganisasikan
(to organise) adalah bagaimana
pemimpin daerah mengelola semua sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya
manusia (SDM) maupun sumberdaya alam (SDA) untuk melakukan apa yang sudah
direncanakan. Mengarahkan (to direct) adalah
bagaimana pemimpin mengarahkan sumberdaya agar mencapai visi, misi dan target yang telah direncanakan
dan ditetapkan dengan memberi motivasi dan melakukan komunikasi secara terus
menerus. Mengendalikan (to control)
merupakan fungsi terakhir yang intinya mengevaluasi dan melaporkan kinerja
organisasi daerahnya (Kuncoro, 2012: 49).
B.
Prospek Otonomi Daerah bagi Pemerintah Daerah dan Masyarakat
UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Dearah sebagai tonggak sejarah pengaturan otonomi daerah di
Indonesia diarahkan untuk melimpahkan sebagian besar kewenangan Pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola rumah tangganya sendiri.
Kewenangan – kewenangan tersebut didukung dengan adanya kewenangan pengelolaan
dan pengembangan sumber daya yang ada di daerah, yaitu sumber daya alam dan
sumber daya manusia, termasuk sumber daya keuangan (Ismail, 2005:236).
Salah satu bentuk insentif dan
kemudahan di bidang pajak daerah tersebut adalah kewenangan pemerintah daerah
untuk memberikan pengurangan, penghapusan sanksi administrasi, pembatalan
ketetapan pajak dan sebagainya (pasal 17 dan pasal 28 UU.34 tahun 2000). Semua
itu merupakan peluang bagi pemerintah daerah agar dapat lebih mengembangkan
daerahnya. Arah otonomi daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut dipertegas lagi dalam undang-undang
No.32 tahun 2004 yang menghendaki otonomi daerah sebagai alat terjadinya
percepatan dalam wujud mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan dan
perekonomian daerah, sekaligus pembangunan dan perekonomian nasional.
Dalam
kaitannya dengan peluang investasi, substansi pengaturan dalam UU.No.32 Tahun
2004 ini bahkan lebih mengakomodasi mengenai kewenangan daerah, pinjaman daerah
dan kerjasama antardaerah sebagai prospek investasi.
C.
Administrasi Lahan Laut dan Perundangan Otonomi Daerah
Undang-undang
no.26 tahun 2007 tentang penataan ruang secara tegas menyebutkan bahwa ruang
adalah wadah yang meiputi ruang darat, lautan dan ruang udara. Dalam kaitannya
bahwa ruang diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan
mahluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan
pemahaman ini dapat dikembangkan suatu konsep bahwa laut merupakan kesatuan
wilayah negara yang perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia. pada kenyataannya hingga saaat ini penataan wilayah laut
belum diatur secara tegas. Batas-batas pemanfaatan wilayah laut juga belum
secara keseluruhan memiliki kepastian hukum yang kuat dibandingkan dengan
pengaturan pengelolaan wilayah darat (Sulistiyo, 2004:32).
Gambar 1: sistematika pengembangan sistem administrasi
lahan laut sebagai langkah penataan wilayah laut secara kuantitatif yang
diperkuat aspek hukum dalam pemanfaatannya (Sulistiyo, 2004:31)
Otonomi daerah telah membuka
peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal tersebut penting
karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak
memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah
sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta
begitu banyaknya masyarakat yang menmggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada
sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat
akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar
masyarakat (Wiranto, 2004:9).
Adanya
otonomi daerah hendaknya dipahami bahwa pengelolaan wilayah di laut pada
hakikatnya merupakan kelanjutan dari pelaksanaan kewenangan yang terkait dengan
berbagai kegiatan di daratan3). Dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat
melalui otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan fungsional antara aspek-aspek
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.
Dana
alokasi umum (DAU) adalah suatu money follow on function dari
aspek pelayanan umum yang meliputi : penyediaan layanan pendidikan, kesehatan,
infrastruktur ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Sehingga merupakan suatu
kebijakan yang tepat bahwa didalam menghitung kebutuhan fiskal dalam DAU (Dana
Alokasi Umum) memasukan luas wilayah sebagai variabel disamping
variabel-variabel jumlah penduduk, indeks kemahalan, PDRB, dan indeks pembangunan manusia. Perlu diketahui pula
bahwa selain cakupan wilayah daerah (batas dan
luas) berfungsi sebagai variabel kebutuhan fiskal, juga berfungsi sebagai
syarat teknis dalam pembentukan daerah.
D.
Implikasi Variabel Luas Wilayah dengan Kewenangan Daerah
Pengelolaan wilayah
laut yang dilakukan sebagai amanat kewenangan yang tercantum di Pasal 18 UU No.
32 tahun 2004 tentunya akan memiliki konsekuensi beban biaya yang mutlak
diperlukan, jadi apabila tidak masuk dalam variabel DAU maka sulit bagi
Pemerintah untuk menuntut akuntabilitas kinerja Pemda yang kapasitas fiskalnya
kecil tetapi dihadapkan pada wilayah laut yang luas (Sutisna,2006:5). Sebagai
contoh di Provinsi NTT yang memiliki luas perairan (laut) sekitar 4 kali dari
luas daratannya, serta memiliki jumlah pulau sekitar 566 buah (besar dan kecil),
secara total memiliki luas wilayah +/- 246.500 Km2.
Pada tahun 2006, Provinsi NTT mendapat
alokasi DAU sebesar Rp. 479,435 Milyar, bandingkan dengan Provinsi Kalteng
dengan luas 153.631 Km2 memperoleh DAU
sebesar Rp. 551,999 Milyar, atau dengan Privinsi Jambi dengan luas 49.173 Km2 dengan
DAU 374,361 Milyar. Hal ini akan lebih jelas terlihat ketimpangan perimbangan keuangan
daerah apabila pameter PAD dimasukan. Maka akan timbul kesan bahwa Provinsi NTT
kurang diperhatikan, padahal Provinsi tersebut memiliki beban cukup berat,
termasuk karena merupakan Provinsi perbatasan negara.
Terkait dengan semakin besarnya kewenangan
daerah untuk melakukan manajemen aset negara atau secara spesifik adalah
manajemen aset daerah, maka pemerintah daerah perlu menyiapkan instrument yang
tepat untuk melakukan manajemen aset daerah secara professional, transparan,
akuntabel, efisien, dan efektif mulai dari perencanaan, pengelolaan/pemafaatan,
serta pengawasan (Mardiasmo, 2004:237).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Kondisi Ketersediaan Energi Listrik Di Indonesia
Permintaan
(demand) energi di Indonesia
cenderung meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan
penduduk (Yuningsih,61:2011). Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara
(PLN), permintaan akan enrgi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2001, terjadi kenaikan permintaan listrik sebesar 6,4%, disusul tahun
2002 menjadi 12,8%.
Diprediksikan
sepuluh tahun ke depan, kenaikan permintaan menjadi 9% setiap tahunnya.
Ironisnya, sumber energi konvensional utama di Indonesia, yang berupa energi
fosil, merupakan sumber yang semakin terbatas cadangannya. Pada tahun 2005,
dilaporkan bahwa telah terjadi krisis energi, yaitu deficit listrik Sumatera
dan Jawa lebih dari 75 MW, Sulawesi sekitar 24 MW, wilayah lainnya di bawah 10
MW (DESDM, 2005).
Pada tahun 2009, sebagian
besar kebutuhan tenaga listrik di Indonesia masih dipasok dari pembangkit
listrik berbahan bakar fosil. Minyak Bumi masih menduduki peringkat tertinggi,
yaitu 51,66%, gas alam menduduki tingkat kedua, yakni 28,57%, sisanya dipasok
dari energi minyak sebesar 15,34% dan energi terbarukan 4,43%. Ketergantungan
terhadap konsumsi energi berbahan bakar fosil dan belum termanfaatkannya sumber
energi baru terbarukan merupakan salah satu kelemahan dalam menerapkan
pemerataan kebijakan energi.
C.
Potensi Tenaga Arus Laut di Indonesia
Secara fisik, wilayah Indonesia
terdiri atas sepertiga wilayah darat dan dua per tiga wilayah laut dengan total
luas lautan hampir 8 juta km². sebagai negara kepulauan yang besar laut
Indonesia menyediakan sumber energi yang melimpah. Sumber energi itu meliputi
sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan (Kurnio, 2011:62).
Dalam beberapa tahun terakhir ini,
pemerintah mencanangkan strategi pembangunan yang lebih berfokus di Indonesia
bagian timur. Strategi ini bertjujuan memperluas ragam aspek meliputi ekonomi,
industri, dan sumber daya alam. Untuk wilayah laut Indonesia, salah satu
potensi energi yang cukup prospektif adalah energi kinetik dari arus laut. Hal
ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai banyak
pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari
mengalami percepatan saat melewati selat tersebut.
Posisi Indonesia yang strategis
dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang terjadi karena adanya
perbedaan elevasi muka air laut rerata di Samudera Pasifik sebelah barat dengan
Samudera Hindia. Ketinggian permukaan laut di bagian barat Samudera Pasifik ke
samudera Hindia (Wyritki, 1961). Perbedaan tersebut membangkitkan arus laut dari
samudera pasifik ke samudera hindia dengan lebih dari 15 juta meter kubik per
detik melewati alur sempit pada selat yang dibatasi belasan ribu pulau dengan
variasi kedalaman hingga 7.000 meter di wilayah Kepulauan Indonesia.
Perairan Indonesia secara tetap
diisi oleh massa air Samudera Pasifik. Hubungan dari dua samudera memeberikan
efek signifikan bagi kecepatan arus yang terjadi di wilayah perairan Indonesia
dengan kombinasi morfologi dasar laut yang bervariasi kedalaman. Kecepatan arus
yang terjadi di selat-selat pulau Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara bisa mencapai
2,5 sampai lebih dari 3m/detik.
Gambar 2: Sketsa gelombang dan arus di selat Lombok. IOKWs, ITF, SJC, SEC dan Rws
dinyatakan dalam berbagai warna seperti diatas. Warna coklat menyatakan
propagasi soliton dan gelombang internal (IW). Lokasi akuakulture kingkaran
kuning, sumber:
Indonesian
Operational Ocean Observing System (Indoo Project - Spf Asie/2005/102-483).
D.
Landasan Hukum Pemanfaatan Potensi Kelautan sebagai Bagian Otonomi Daerah
1.
Undang-undang No.6 Tahun 1996 (Pasal 2
Ayat 2)
“Segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah
daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan
Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Otonomi
daerah dapat dipahami bahwa pengelolaan wilayah di laut pada hakikatnya
merupakan kelanjutan dan pelaksanaan kewenangan yang terkait dengan berbagai
kegiatan di daratan (Sutisna, 2006:1).
2.
Undang-undang No.32 Tahun 2004
Bahwa
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut
yaitu paling jauh 12 mil-laut untuk Provinsi, yang dihitung dari garis pantai
ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan 1/3 dari itu untuk
Kabupaten/Kota. Apabila lebar wilayah laut antara dua Provinsi yang berhadapan
< 24 mil-laut, maka kewenangan dibagi sama jarak, dan Kabupaten/Kota
memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan propinsi [Pasal 18 ayat (5)].
Berdasarkan ketentuan
tersebut maka secara tegas Undang-undang telah memberikan kewenangan mengelola
sumber daya di laut kepada Daerah Otonom. Tentunya, sejauh tidak menyangkut
lima urusan yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dan masih dalam
kerangka NKRI.
3.
PP No.129 Tahun 2000 (Pasal 13)
Pemekaran Daerah dapat dilakukan berdasarkan
kriteria sebagai berikut :
a.
kemampuan
ekonomi;
b.
potensi
daerah;
c.
sosial
budaya;
d.
sosial
politik;
e.
jumlah
penduduk;
f.
luas
daerah (Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan Luas daratan ditambah luas 4 mil laut
dari pantai untuk Kabupaten/Kota atau 4 sampai dengan 12 mil laut dari pantai
untuk Propinsi)
g.
Pertimbangan
lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
4. Undang-Undang
No.32 Tahun 2004 (Pasal 18)
Daerah
yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut, yang kewenangankewenangannya meliputi 5):
a.
ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
b.
pengaturan administratif;
c.
pengaturan tata ruang;
d.
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
e.
ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan;
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan
negara.
Menegaskan
untuk memberikan hak pengelolaan kepada Daerah secara utuh dan dijadikan
sebagai bagian dari variabel luas wilayah Daerah dan diintegrasikan dalam
perhitungan DAU.
E.
Implementasi
Implementasi dalam rangka meningkatkan
peran otonomi daerah sebagai penguatan NKRI diwujudkan melalui pemanfaatan
potensi kelautan perairan Indonesia untuk mengembangkan energi alternatif
terbarukan. Dalam mewujudkan implementasi tersebut maka langkah-langkah yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Merumuskan
Masalah
2.
Menyusun
kriteria evaluasi
3.
Identifikasi
alternatif kebijakan
4.
Evaluasi
alternatif kebijakan
5.
Pemaparan
hasil evaluasi
6.
Evaluasi
hasil pelaksanaan kebijakan
Rondinelli dan Cheema (1983:28) mengidentifikasi empat
faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
1.
Kondisi
lingkungan
2.
Hubungan
antar organisasi
3.
Sumber
daya
4.
Karakter
institusi implementor
Implikasi
dari kurangnya pemahaman para implementer terhadap tujuan kebijakan adalah pada
saat kebijakan diimplementasikan kemudian muncul permasalahan yang terkait
dengan interpretasi tujuan kebijakan yang kurang tepat.
Merumuskan masalah
(1)
|
Menyusun kriteria
evaluasi
(2)
|
Identifikasi
alternatif kebijakan
(3)
|
Evaluasi alternatif
kebijakan
(4)
|
Pemaparan hasil
evaluasi
(5)
|
Evaluasi hasil
pelaksanaan kebijakan
(6)
|
Merujuk
Pasal 5 UU No.25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional.
|
Undang-undang No.6
Tahun 1996 (Pasal 2 Ayat 2)
|
RPP
Batas daerah (Dept. Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, 2001)
|
UU.Energi
No.30/2007
|
Integrasi
faktor politik ke dalam analisis kebijakan
|
Perbandingan
sebelum dan setelah penetapan kebijakan
|
RPJM
Daerah (2009-2013)
|
Undang-undang No.32
Tahun 2004
|
Undang-Undang
No. 22 Th. 1999
|
Perpres
5/2006 tentang kebijakan energi nasional
|
||
UU
No.26 Tahun 2007 Penataan ruang
|
PP No.129 Tahun
2000 (Pasal 13)
|
UU
No.27 tahun 2007
|
Permen
ESDM No.32/2008
|
||
Pasal
12 UU 25/1999
|
Undang-Undang No.32
Tahun 2004 (Pasal 18)
|
Pasal
12 UU. No.25 tahun 1999
|
UU
No.27/2003 Ps.21 Ayat 1
PP
59/2007 Ps.28 Ayat 3
|
Sumber: Hasil Analisis, 2013
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengelolaan potensi kelautan arus pasang
surut air laut sebagai sumber energi terbarukan dapat menjadi kewenangangan
masing-masing daerah yang telah diatur dalam PP.No.129 Tahun 2000. Hanya saja masih terdapat ha-hal yang kurang
sejalan dengan peraturan perundangan lainnya yang dengan jelas tidak memisahkan
antara wilayah darat dan laut.
B. Saran
Dalam rangka membangun kemandirian
Pemda menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat maka pengalokasian DAU sangat berkaitan dengan tugas
pengelolaan wilayah di darat dan di laut. Contohnya, NTT harus
mampu membangun penyediaan infrastruktur, sarana dan prasarana ekonomi pada
matra laut yang sangat berat karena kondisi geografis wilayah ber-pulau-pulau.
Sementara DAU yang dialokasikan hanya pada pembangunan di wilayah daratan.
Daftar Pustaka
Buletin
Perencanaan. 2011.Perencanaan Umum Investasi Sektor ESDM. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral.
Hayati,Sri. Kajian Desentralisasi Pengelolaam
Kelautan dan Perikanan Daerah.
INDONESIAN OPERATIONAL OCEAN OBSERVING SYSTEM (INDOO PROJECT - SPF
ASIE/2005/102-483)
Ismail,Tjip.
2005. Pengaturan Pajak Daerah di
Indonesia. Jakarta; PT.Yellow Mediatama
Kuncoro,Mudrajad.
2012. Perencanaan Daerah Bagaimana
Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan. Jakarta;Salemba Empat
Mardiasmo.
2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan
Daerah. Yogyakarta;ANDI
Patton
dan Saw.S david. 1986. Basic Methods Of
Policy Analysis and Planning. London; Prentice-Hall
Sutisna, Sobar. 2006. Kemungkinan
Luas Laut Sebagai Bagian Dari Luas Wilayah Dalam Perhitungan Dau. Departemen
Keuangan Republik
Indonesia,
Jakarta, 5-6 April 2006.
Sulistiyo,
Budi. 2004.Sebuah Pemikiran Kadaster Laut
Sebagai Langkah Menuju Penataan Wilayah Laut. Pertemuan Ilmiah Tahunan I.
Wiranto,
Tatag. Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September
2004.
Yuningsih,
Ai.2011. Potensi Arus Laut Untuk
Pembangkit Energi Baru Terbarukan di Selat Pantar Nusa Tenggara Timur.
Media Informasi dan Komunikasi;Litbang Energi dan Sumber Daya