Rabu, 10 Juli 2013

Penguatan NKRI Melalui Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
          Otonomi daerah lahir pada awalnya didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan dan kesejahteraan ekonomi tidak bisa dikelola secara sentralis mengingat minimnya anggaran dan luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konteks pembangunan ekonomi, sentalisasi atau desentralisasi hanyalah masalah teknis. Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah kesejateraan masyarakat. karena itu semua regulasi memiliki tujuan agar pembangunan ekonomi tidak menyimpang dari semangat awal pendirian negara-bangsa.
            Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia 1945,pasal 25A menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas dan haknya ditetapkan dengan undang-undang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dimana 63% wilayahnya terdiri dari laut. Laut menyimpan cadangan energi di alam semesta, salah satunya energi arus laut. Di Indonesia pemanfaatan energi arus laut menjadi pembangkit listrik belum banyak dilakukan.
         Kebutuhan akan energi listrik nasional terus meningkat hingga sebesar 9% per tahun. Tidak sebanding dengan ketersediaan energi fosil sebagai sumber energi primer pembangkit tenaga listrik yang dimiliki PT.PLN (Persero) sebagai penyedia listrik di Indonesia. Pemanfaatan energi listrik khususnya energi terbarukan yang berasal dari laut mulai dilakukan. Hal ini diakibatkan terbatasnya ketersediaan energi fosil di Indonesia.
Indonesia memiliki potensi arus laut yang baik untuk pembangkit listrik. Oleh karena itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) melakukan penelitian potensi arus laut di Indonesia, salah satunya Selat Flores, Nusa Tenggara Timur (Litbang ESDM). Wilayah perairan Indonesia, terutama selat-selat yang menghadap Lautan Hindia dan Samudera Pasifik ternyata memiliki arus laut yang kuat sehingga menyimpan potensi yang bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk membangkitkan energi listrik dari sumber energi yang terbarukan.
Kebutuhan energi listrik alternatif akan terus meningkat mengingat bahwa pertumbuhan investasi di Indonesia sektor ESDM dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menindaklanjuti hal tersebut, maka pemerintah sudah seharusnya melakakukan terobosan baru melalui pengembangan energi alternatif karena cadangan energi fosil juga semakin berkurang. Dalam mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka peran otonomi daerah diperlukan untuk menginisiasi kebijakan pengelolaan energi alternatif.
Kebijakan pengembangan energi alternatif melalui potensi perairan Indonesia juga diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan potensi laut. Disamping itu kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah dalam penguatan NKRI melalui eksplorasi sumberdaya kelautan.
B.    Rumusan Masalah
Bagaimana peran pemerintah dalam penguatan NKRI melalui otonomi daerah terhadap pengelolaan wilayah perairan kelautan dalam pengembangan potensi arus laut untuk menghasilkan energi listrik alternatif.
C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan potensi sumberdaya perairan laut Indonesia untuk menghasilkan energi terbarukan sebagai perwujudan penyediaan ketahanan energi nasional dan penguatan wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sistem Perencanaan Pada Era Otonomi Daerah
      Sejarah perekonomian mencatat bahwa otonomi daerah telah muncul ke permukaan sebagai paradigm baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dekade 1970-an (Kuncoro,2012:49). Perencanaan merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen yang penting dan saling terkait. Empat fungsi manajemen tersebut adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan. Merencanakan (to plan) membutuhkan pemahaman di mana posisi daerah dan ke mana mau melangkah kedepan, bagaimana formulasi visi dan misi, serta strategi apa yang dipilih unutk mencapai target.

Mengorganisasikan (to organise) adalah bagaimana pemimpin daerah mengelola semua sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya manusia (SDM) maupun sumberdaya alam (SDA) untuk melakukan apa yang sudah direncanakan. Mengarahkan (to direct) adalah bagaimana pemimpin mengarahkan sumberdaya agar mencapai  visi, misi dan target yang telah direncanakan dan ditetapkan dengan memberi motivasi dan melakukan komunikasi secara terus menerus. Mengendalikan (to control) merupakan fungsi terakhir yang intinya mengevaluasi dan melaporkan kinerja organisasi daerahnya (Kuncoro, 2012: 49).
B. Prospek Otonomi Daerah bagi Pemerintah Daerah dan Masyarakat
       UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Dearah sebagai tonggak sejarah pengaturan otonomi daerah di Indonesia diarahkan untuk melimpahkan sebagian besar kewenangan Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk dapat mengelola rumah tangganya sendiri. Kewenangan – kewenangan tersebut didukung dengan adanya kewenangan pengelolaan dan pengembangan sumber daya yang ada di daerah, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk sumber daya keuangan (Ismail, 2005:236).
     Salah satu bentuk insentif dan kemudahan di bidang pajak daerah tersebut adalah kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan pengurangan, penghapusan sanksi administrasi, pembatalan ketetapan pajak dan sebagainya (pasal 17 dan pasal 28 UU.34 tahun 2000). Semua itu merupakan peluang bagi pemerintah daerah agar dapat lebih mengembangkan daerahnya. Arah otonomi daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut dipertegas lagi dalam undang-undang No.32 tahun 2004 yang menghendaki otonomi daerah sebagai alat terjadinya percepatan dalam wujud mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan dan perekonomian daerah, sekaligus pembangunan dan perekonomian nasional.
Dalam kaitannya dengan peluang investasi, substansi pengaturan dalam UU.No.32 Tahun 2004 ini bahkan lebih mengakomodasi mengenai kewenangan daerah, pinjaman daerah dan kerjasama antardaerah sebagai prospek investasi.

C. Administrasi Lahan Laut dan Perundangan Otonomi Daerah
         Undang-undang no.26 tahun 2007 tentang penataan ruang secara tegas menyebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meiputi ruang darat, lautan dan ruang udara. Dalam kaitannya bahwa ruang diterjemahkan sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan dan memelihara kelangsungan hidup mereka. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan suatu konsep bahwa laut merupakan kesatuan wilayah negara yang perlu ditata dan diatur tanpa mengurangi prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. pada kenyataannya hingga saaat ini penataan wilayah laut belum diatur secara tegas. Batas-batas pemanfaatan wilayah laut juga belum secara keseluruhan memiliki kepastian hukum yang kuat dibandingkan dengan pengaturan pengelolaan wilayah darat (Sulistiyo, 2004:32).  
Gambar 1: sistematika pengembangan sistem administrasi lahan laut sebagai langkah penataan wilayah laut secara kuantitatif yang diperkuat aspek hukum dalam pemanfaatannya (Sulistiyo, 2004:31)

          Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal tersebut penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yang menmggantungkan kehidupan dan nafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut. Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat (Wiranto, 2004:9).
       Adanya otonomi daerah hendaknya dipahami bahwa pengelolaan wilayah di laut pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari pelaksanaan kewenangan yang terkait dengan berbagai kegiatan di daratan3). Dalam upaya mencapai kesejahteraan rakyat melalui otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan fungsional antara aspek-aspek keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya.
          Dana alokasi umum (DAU) adalah suatu money follow on function dari aspek pelayanan umum yang meliputi : penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Sehingga merupakan suatu kebijakan yang tepat bahwa didalam menghitung kebutuhan fiskal dalam DAU (Dana Alokasi Umum) memasukan luas wilayah sebagai variabel disamping variabel-variabel jumlah penduduk, indeks kemahalan, PDRB, dan indeks pembangunan manusia. Perlu diketahui pula bahwa selain cakupan wilayah daerah (batas dan luas) berfungsi sebagai variabel kebutuhan fiskal, juga berfungsi sebagai syarat teknis dalam pembentukan daerah.

D. Implikasi Variabel Luas Wilayah dengan Kewenangan Daerah
            Pengelolaan wilayah laut yang dilakukan sebagai amanat kewenangan yang tercantum di Pasal 18 UU No. 32 tahun 2004 tentunya akan memiliki konsekuensi beban biaya yang mutlak diperlukan, jadi apabila tidak masuk dalam variabel DAU maka sulit bagi Pemerintah untuk menuntut akuntabilitas kinerja Pemda yang kapasitas fiskalnya kecil tetapi dihadapkan pada wilayah laut yang luas (Sutisna,2006:5). Sebagai contoh di Provinsi NTT yang memiliki luas perairan (laut) sekitar 4 kali dari luas daratannya, serta memiliki jumlah pulau sekitar 566 buah (besar dan kecil), secara total memiliki luas wilayah +/- 246.500 Km2.
         Pada tahun 2006, Provinsi NTT mendapat alokasi DAU sebesar Rp. 479,435 Milyar, bandingkan dengan Provinsi Kalteng dengan luas 153.631 Km2 memperoleh DAU sebesar Rp. 551,999 Milyar, atau dengan Privinsi Jambi dengan luas 49.173 Km2 dengan DAU 374,361 Milyar. Hal ini akan lebih jelas terlihat ketimpangan perimbangan keuangan daerah apabila pameter PAD dimasukan. Maka akan timbul kesan bahwa Provinsi NTT kurang diperhatikan, padahal Provinsi tersebut memiliki beban cukup berat, termasuk karena merupakan Provinsi perbatasan negara.
          Terkait dengan semakin besarnya kewenangan daerah untuk melakukan manajemen aset negara atau secara spesifik adalah manajemen aset daerah, maka pemerintah daerah perlu menyiapkan instrument yang tepat untuk melakukan manajemen aset daerah secara professional, transparan, akuntabel, efisien, dan efektif mulai dari perencanaan, pengelolaan/pemafaatan, serta pengawasan (Mardiasmo, 2004:237).


BAB III
PEMBAHASAN

A. Kondisi Ketersediaan Energi Listrik Di Indonesia
Permintaan (demand) energi di Indonesia cenderung meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk (Yuningsih,61:2011). Berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), permintaan akan enrgi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001, terjadi kenaikan permintaan listrik sebesar 6,4%, disusul tahun 2002 menjadi 12,8%.
Diprediksikan sepuluh tahun ke depan, kenaikan permintaan menjadi 9% setiap tahunnya. Ironisnya, sumber energi konvensional utama di Indonesia, yang berupa energi fosil, merupakan sumber yang semakin terbatas cadangannya. Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa telah terjadi krisis energi, yaitu deficit listrik Sumatera dan Jawa lebih dari 75 MW, Sulawesi sekitar 24 MW, wilayah lainnya di bawah 10 MW (DESDM, 2005).
Pada tahun 2009, sebagian besar kebutuhan tenaga listrik di Indonesia masih dipasok dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Minyak Bumi masih menduduki peringkat tertinggi, yaitu 51,66%, gas alam menduduki tingkat kedua, yakni 28,57%, sisanya dipasok dari energi minyak sebesar 15,34% dan energi terbarukan 4,43%. Ketergantungan terhadap konsumsi energi berbahan bakar fosil dan belum termanfaatkannya sumber energi baru terbarukan merupakan salah satu kelemahan dalam menerapkan pemerataan kebijakan energi.
C. Potensi Tenaga Arus Laut di Indonesia
            Secara fisik, wilayah Indonesia terdiri atas sepertiga wilayah darat dan dua per tiga wilayah laut dengan total luas lautan hampir 8 juta km². sebagai negara kepulauan yang besar laut Indonesia menyediakan sumber energi yang melimpah. Sumber energi itu meliputi sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan (Kurnio, 2011:62).
            Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah mencanangkan strategi pembangunan yang lebih berfokus di Indonesia bagian timur. Strategi ini bertjujuan memperluas ragam aspek meliputi ekonomi, industri, dan sumber daya alam. Untuk wilayah laut Indonesia, salah satu potensi energi yang cukup prospektif adalah energi kinetik dari arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari mengalami percepatan saat melewati selat tersebut.
            Posisi Indonesia yang strategis dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang terjadi karena adanya perbedaan elevasi muka air laut rerata di Samudera Pasifik sebelah barat dengan Samudera Hindia. Ketinggian permukaan laut di bagian barat Samudera Pasifik ke samudera Hindia (Wyritki, 1961). Perbedaan tersebut membangkitkan arus laut dari samudera pasifik ke samudera hindia dengan lebih dari 15 juta meter kubik per detik melewati alur sempit pada selat yang dibatasi belasan ribu pulau dengan variasi kedalaman hingga 7.000 meter di wilayah Kepulauan Indonesia.
            Perairan Indonesia secara tetap diisi oleh massa air Samudera Pasifik. Hubungan dari dua samudera memeberikan efek signifikan bagi kecepatan arus yang terjadi di wilayah perairan Indonesia dengan kombinasi morfologi dasar laut yang bervariasi kedalaman. Kecepatan arus yang terjadi di selat-selat pulau Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara bisa mencapai 2,5 sampai lebih dari 3m/detik.

 
Gambar 2: Sketsa gelombang dan arus di selat Lombok. IOKWs, ITF, SJC, SEC dan Rws dinyatakan dalam berbagai warna seperti diatas. Warna coklat menyatakan propagasi soliton dan gelombang internal (IW). Lokasi akuakulture kingkaran kuning, sumber: Indonesian Operational Ocean Observing System (Indoo Project - Spf Asie/2005/102-483).

D. Landasan Hukum Pemanfaatan Potensi Kelautan sebagai Bagian Otonomi Daerah
1.  Undang-undang No.6 Tahun 1996 (Pasal 2 Ayat 2)
“Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.

Otonomi daerah dapat dipahami bahwa pengelolaan wilayah di laut pada hakikatnya merupakan kelanjutan dan pelaksanaan kewenangan yang terkait dengan berbagai kegiatan di daratan (Sutisna, 2006:1).

2.  Undang-undang No.32 Tahun 2004
Bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut yaitu paling jauh 12 mil-laut untuk Provinsi, yang dihitung dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan 1/3 dari itu untuk Kabupaten/Kota. Apabila lebar wilayah laut antara dua Provinsi yang berhadapan < 24 mil-laut, maka kewenangan dibagi sama jarak, dan Kabupaten/Kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan propinsi [Pasal 18 ayat (5)].

Berdasarkan ketentuan tersebut maka secara tegas Undang-undang telah memberikan kewenangan mengelola sumber daya di laut kepada Daerah Otonom. Tentunya, sejauh tidak menyangkut lima urusan yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dan masih dalam kerangka NKRI.

3.  PP No.129 Tahun 2000 (Pasal 13)
Pemekaran Daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut :
a.    kemampuan ekonomi;
b.    potensi daerah;
c.    sosial budaya;
d.    sosial politik;
e.    jumlah penduduk;
f.     luas daerah (Luas Daerah/Wilayah Keseluruhan Luas daratan ditambah luas 4 mil laut dari  pantai untuk Kabupaten/Kota atau 4 sampai dengan 12 mil laut dari pantai untuk Propinsi)
g.    Pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

4.  Undang-Undang No.32 Tahun 2004 (Pasal 18)
Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut, yang kewenangankewenangannya meliputi 5):

a. ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;
e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan;
f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Menegaskan untuk memberikan hak pengelolaan kepada Daerah secara utuh dan dijadikan sebagai bagian dari variabel luas wilayah Daerah dan diintegrasikan dalam perhitungan DAU.

E. Implementasi
       Implementasi dalam rangka meningkatkan peran otonomi daerah sebagai penguatan NKRI diwujudkan melalui pemanfaatan potensi kelautan perairan Indonesia untuk mengembangkan energi alternatif terbarukan. Dalam mewujudkan implementasi tersebut maka langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Merumuskan Masalah
2.    Menyusun kriteria evaluasi
3.    Identifikasi alternatif kebijakan
4.    Evaluasi alternatif kebijakan
5.    Pemaparan hasil evaluasi
6.    Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan

Rondinelli dan Cheema (1983:28) mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
1.    Kondisi lingkungan
2.    Hubungan antar organisasi
3.    Sumber daya
4.    Karakter institusi implementor     

Implikasi dari kurangnya pemahaman para implementer terhadap tujuan kebijakan adalah pada saat kebijakan diimplementasikan kemudian muncul permasalahan yang terkait dengan interpretasi tujuan kebijakan yang kurang tepat.

Merumuskan masalah

(1)
Menyusun kriteria evaluasi

(2)

Identifikasi alternatif kebijakan
(3)

Evaluasi alternatif kebijakan
(4)
Pemaparan hasil evaluasi

(5)
Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan
(6)
Merujuk Pasal 5 UU No.25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional.
Undang-undang No.6 Tahun 1996 (Pasal 2 Ayat 2)

RPP Batas daerah (Dept. Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, 2001)
UU.Energi No.30/2007




Integrasi faktor politik ke dalam analisis kebijakan




Perbandingan sebelum dan setelah penetapan kebijakan
RPJM Daerah (2009-2013)
Undang-undang No.32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 22 Th. 1999
Perpres 5/2006 tentang kebijakan energi nasional
UU No.26 Tahun 2007 Penataan ruang
PP No.129 Tahun 2000 (Pasal 13)

UU No.27 tahun 2007
Permen ESDM No.32/2008
Pasal 12 UU 25/1999
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 (Pasal 18)
Pasal 12 UU. No.25 tahun 1999
UU No.27/2003 Ps.21 Ayat 1
PP 59/2007 Ps.28 Ayat 3
Sumber: Hasil Analisis, 2013

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
        Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengelolaan potensi kelautan arus pasang surut air laut sebagai sumber energi terbarukan dapat menjadi kewenangangan masing-masing daerah yang telah diatur dalam PP.No.129 Tahun 2000.  Hanya saja masih terdapat ha-hal yang kurang sejalan dengan peraturan perundangan lainnya yang dengan jelas tidak memisahkan antara wilayah darat dan laut.

B. Saran
     Dalam rangka membangun kemandirian Pemda menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat maka pengalokasian DAU sangat berkaitan dengan tugas pengelolaan wilayah di darat dan di laut. Contohnya, NTT harus mampu membangun penyediaan infrastruktur, sarana dan prasarana ekonomi pada matra laut yang sangat berat karena kondisi geografis wilayah ber-pulau-pulau. Sementara DAU yang dialokasikan hanya pada pembangunan di wilayah daratan.


Daftar Pustaka

Buletin Perencanaan. 2011.Perencanaan Umum  Investasi Sektor ESDM. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Hayati,Sri. Kajian Desentralisasi Pengelolaam Kelautan dan Perikanan Daerah.
INDONESIAN OPERATIONAL OCEAN OBSERVING SYSTEM (INDOO PROJECT - SPF ASIE/2005/102-483)
Ismail,Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta; PT.Yellow Mediatama
Kuncoro,Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan. Jakarta;Salemba Empat
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta;ANDI
Patton dan Saw.S david. 1986. Basic Methods Of Policy Analysis and Planning. London; Prentice-Hall
Sutisna, Sobar. 2006. Kemungkinan Luas Laut Sebagai Bagian Dari Luas Wilayah Dalam Perhitungan Dau. Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Jakarta, 5-6 April 2006.
Sulistiyo, Budi. 2004.Sebuah Pemikiran Kadaster Laut Sebagai Langkah Menuju Penataan Wilayah Laut. Pertemuan Ilmiah Tahunan I.
Wiranto, Tatag. Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004.
Yuningsih, Ai.2011. Potensi Arus Laut Untuk Pembangkit Energi Baru Terbarukan di Selat Pantar Nusa Tenggara Timur. Media Informasi dan Komunikasi;Litbang Energi dan Sumber Daya

0 komentar:

Posting Komentar