Rabu, 10 Juli 2013

Perencanaan Pembangunan Pada Otonomi Daerah

A.    Sistem Perencanaan pada Era Otonomi Daerah
Sejarah perekonomian mencatat bahwa otonomi daerah telah muncul ke permukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dekade 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap otonomi daerah tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dikendalikan dan direncanakan dengan mudah dari pusat. Oleh karena itu, dengan penuh keyakinan, para pelopor otonomi daerah mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya otonomi daerah dalam perencanaan dan administrasi di Negara dunia ketiga (Allen, 1990).
Perencanaan didefinisikan sebagai suatu proses berkesinambungan yang mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternatif penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa mendatang (Conyers dan Hills,1984). Berdasarkan definisi tersebut, terdapat empat elemen dasar perencanaan yaitu: (1) merencanakan berarti memilih, (2) perencanaan merupakan alat pengalokasian sumber daya, (3) perencanaan merupakan alat untuk mencapai tujuan dan (4) perencanaan untuk masa depan (Kuncoro, 2012).
SPPN adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan  oleh unsur penyelenggara Negara di tingkat pusat dan daerah. Berdasarkan UU No.25/2005 tentang SPPN, dikenal empat pendekatan dalam proses perencanaan, yaitu proses politik, teknokratik, partisipatif, serta bottom-up dan top-down. Empat proses perencanaan tersebut memiliki pendekatan dan cara tersendiri.

1.    Proses Politik
Pemilihan presiden/kepala daerah dipandang sebagai penyusunan rencana karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan oleh setiap calon presiden/kepala daerah.
2.    Proses Teknokratik
Perencanaan yang dilakukan oleh perencana professional atau lembaga/unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah.
3.    Proses Partisipatif
Perencanaan jyang melibatkan pihak yang berkepentingan terhadap pembangunan (stakeholders) yang antara lain melalui pelaksanaan Musrembang.
4.    Proses Botton-up dan Top-down
Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan (menurut jenjang pemerintahan).

B.     Masalah dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam implementasi perencanaan daerah, ternyata banyak masalah muncul. Permasalahan lain yang seringkali muncul di lapangan adalah sebagai berikut (Bank Dunia, 2003:47-56;Kuncoro,2004:Bab 3).
1.    Propenas (RPJMN) dan Propeda (RPJMD) bukanlah rencana yang berkelanjutan karena hanya dipersiapkan lima tahun sekali. Perencanaan tersebut tidak menjelaksan output dan hasil serta tidak berhubungan dengan anggaran meskipun definisinya secara umum sebagai program pembangunan.
2.    Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down dan botton-up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan Propenas/RPJMN.
3.    Perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. Hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut.
4.    Perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan daripada memandang anggaran secara keseluruhan.

Hal menarik yang perlu dicatat bahwa Bappenas (2011) telah mengidentifikasi 7 titik krisis dalam tahapan perencanaan tahunan dan Musrembang di Indonesia :
1.    Penajaman tujuan dan sasaran yang akan dicapai.
2.    Lingkup pembahasan yang terbatas pada dana dekonsentrasi (dekon) dan tugas pembantuan (TP) belum menyentuh dana transfer ke daerah, rencana investasi swasta, dan penyaluran kredit perbankan.
3.    Kejelasan arahan dari pemerintah pusat (Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementrian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri, dan kementrian/lembaga) pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota karena bersifat normative dan tidak pasti.
4.    Standarisasi nomenklatur program dan kegiatan K/L dengan program dan kegiatan SKPD.
5.    Kejelasan kriteria penetapan prioritas program dan kegiatan K/L yang akan dilaksanakan di setiap provinsi.
6.    Keterbatasan waktu pembahasan sinergi program dan kegiatan K/L dengan program dan kegiatan SKPD sehingga tidak menghasilkan keputusan yang bersifat final.

7.    Kepastian hasil musrembangnas sebagai dasar penyusunan Renja K/L dan RKA K/L.

SPPN Indonesia yang meliputi pendekatan top-down dan botton-up di atas kertas tampaknya akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun kenytaannya, banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat. Walaupun dalam mekanisme kordinasi formal (botton-up),  perencanaan pembangunan daerah masih berada dalam kontrol pemerintah pusat.
Permasalahan utama perencanaan pembangunan di Indonesia terletak pada pelaksanaannya, khususnya kelayakan rencana dan aparatur pelaksana. Sementara itu, permasalahan kelayakan rencana terletak pada keterbatasan data statistik dan keterbatasan pada kemampuan tenaga perencana. Permasalahan pada aparatur pelaksana terletak pada kurangnya dukungan elite politik dan masih kentalnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Perencanaan yang disusun harus mampu menjabarkan visi dan misi jangka panjang secara lebih terperinci. Penjabaran ini memerlukan pemikiran yang komprehensif dan integrasi perkembangan semua aspek terkait dengan proses pembangunan yang dilakukan melalui pengkajian strategis masa. Selain pemikiran yang komprehensif, diperlukan juga suatu bentuk perencanaan yang parisipatif (Kuncoro, 2012).
A.    Kesimpulan
Kegagalan implementasi perencanaan disebabkan karena faktor politiklah yang dianggap memiliki pengaruh yang dominan, meskipun pada awalnya variable politik dianggap kurang penting dalam proses implementasi. Seperti pada permasalahan aparatur pelaksana yakni terletak pada kurangnya dukungan elite politik, mengikuti pandangan dikhotomis bahwa implementasi kebijakan sering hanya dilihat sebagai proses manajemen: bagaimana kebijakan (seringkali disederhanakan sebagai peretauran hukum) dikelola. Sebab dalam kenyataannya implementasi kebijakan ternayata tidak sekedar sebagai kegiatan manajerial akan tetapi juga merupakan kegiatan yang bersifat politis. 
Tentang hal ini Linbolm dan Woodhouse mengemukakan: “The actions of policy implementers are considered to be political, because they have possibility of altering and influencing political decisions the basis of their own knowledge, insights and interests” (Lindblom and Woodhouse 1993 dalam Torenvilled dan Thomson 2003:65 dalam Purwanto dan Sulistyastuti 2012:79).  Lebih lanjut Torenviled dan Thomson (2003), menyebutkan adanya tawar-menawar politik (political bargaining) dalam proses implementasi. Political bargaining merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan ketika proses implementasi terjadi di ranah public yang mengandung kepentingan yang bersifat heterogen.
 Tingginya muatan politik dalam proses implementasi terjadi karena, implementasi melibatkan banyak stakeholder. Kiviniemi (1986: 289) menyebutkan adanya non governmental actors yang ikut berinteraksi dalam proses implementasi menjadi sangat dinamis. Tentang hal ini ia mengatakan: “ It is very difficult to outline ‘normal’ or typical policy implementation processes. The number of stages and component in a given process consequently a dynamic situation in which there are always possibilities for many different events and actions (Purwanto & Sulistyastuti, 2012:80)
Sumber : Kiviniemi (1986:251) dalam Purwanto & Sulistyastuti (2012:52)

Diagram tersebut menggambarkan bahwa kebijakan publik akan berujung pada tindakan pemerintah yang didukung oleh dua hal, yaitu: sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah dan nilai-nilai yang ingin dicapai. Khususnya dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan salah satu permasalahan utamanya adalah kelayakan aparatur pelaksana, bisa saja disebabkan karena aparatur pelaksana tidak/kurang memiliki kompetensi pada bidang tertentu sehingga menimbulkan ketidakjelasan tujuan yang ingin dicapai. Ketidaksesuian sumber daya akan menimbulkan lingkungan kebijakan yang kurang kondusif sehingga memungkinkan implementasi kurang berhasil. Komitmen semua pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilan program dan diyakini bahwa besarnya komitmen ini bergantung pada sejauh mana mereka terlibat dalam proses perencanaan (Kuncoro, 2012:67).

Daftar Bacaan:
Allen, H.J.B 1990. Cultivating the Grass Roots: Why Local Government Matters. Bombay: International Union of Local Authorities.
Bappenas.2011. Rancangan Awal Kerangka Proses dan Mekanisme Revitalisasi Musrembang 2011. Jakarta: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas, 21 Januari.
Conyers, D. dan P.Hills. 1984. An introduction to development planning in the third world. Chichester:John Wiley and Sons, Inc.
Kiviniemi, Markku. 1986.”Public Policy and Their Targets. A typology of the concept implementation”, International Social Science Journal, vol.38 no.2 hal:251-265
Kuncoro, Mudarajad. 2012. Perencanaan Daerah:Bagaimana membangun ekonomi lokal, kota dan kawasan. Jakarta:Salemba Empat.

0 komentar:

Posting Komentar